Rabu, 12 Agustus 2020

KETELADANAN GURU VS ERA MILENIAL

Baca juga Pentingnya PAI di Tengah Pandemi oleh Asral Puadi @poetramaek
Kualitas pendidikan bangsa ini banyak ditentukan oleh kualitas para gurunya. Guru adalah boss in the class. Guru adalah orang yang bertatap muka langsung dengan peserta didik. Sebagus apapun dan semodern apa pun sebuah kurikulum dan perencanaan strategis pendidikan dirancang, jika tanpa guru yang berkualitas, tidak akan membuahkan hasil optimal. Dalam situasi dan kondisi bangsa yang masih dilanda krisis multi dimensi yang berkepanjangan dan masih diselimuti ketidakpastian berbagai aspek kehidupan, eksistensi pendidikan merupakan penyejuk dan sekaligus pemberi harapan terhadap kecerahan masa depan bangsa. Melalui pendidikan inilah semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara diharapkan dapat berevolusi sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing secara sinergis menuju tercapainya tujuan nasional, serta dapat mengatasi demoralisasi pada siswa. Oleh karena itu, keberadaan dan kehadiran guru sebagai key actor in the learning process, yang profesional serta memiliki karakter kuat merupakan suatu kebutuhan.
Guru memiliki peran yang sangat vital dan fundamental dalam membimbing, mengarahkan dan mendidik siswa dalam proses pembelajaran, karena sangat pentingnya peran guru, sehingga keberadaan guru bahkan tidak dapat digantikan oleh siapapun atau apapun, sekalipun dengan teknologi canggih, sebab alat dan media pendidikan, sarana prasarana, multimedia dan teknologi hanyalah media atau alat yang hanya digunakan sebagai teacher’s companion.
Menjadi guru ibarat dua mata pisau. Tajam dan tumpul. Tajam jika guru benar-benar menginternalisasi keteladanannya ke dalam diri dan menularkan ke seluruh siswanya. Tumpul jika guru hanya berkutat dengan diktat dan pengajaran, sehingga ia lupa dengan tugas utamanya yaitu sebagai sosok teladan.
Sayangnya kini diksi “teladan” dengan “guru” seakan jauh panggang dari api. Kita dengan mudahnya menemukan berita maupun kasus perseteruan guru dengan siswa, guru dengan orangtua, maupun sesama guru dengan sekelumit permasalahannya. Lantas, apa yang menyebabkan semua kekacauan ini terjadi?
Kita mafhum bahwa kini guru dituntut untuk menjadi seorang profesional. Yakni, kemampuan mengajarnya ditentukan dari standar sertifikasi yang dibuat oleh pemerintah. Untuk memenuhi semua itu, seorang guru harus melewati begitu banyak persyaratan administratif maupun tes tertulis. Hal ini dilakukan agar hubungan antara kualitas seorang guru berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraannya. Terkadang, melalui sistem ini seorang guru menjadikannya abai terhadap fungsi utamanya sebagai sosok teladan. Beberapa bahkan tidak mempedulikan lagi demoralisasi yang terjadi pada siswa-siswanya.
Disisi lain, zaman era milenial ini semakin pesat arahnya kepada digitalisasi, dimana semua kegiatan manusia dipermudah dengan kehadiran gadget maupun teknologi yang berbasis Artificial Inteligence (AI), Big Data, maupun Internet of Things (IoT), menyebabkan siswa menjadi bias dalam menemukan figur yang patut mereka ikuti. Mereka terlena dengan gemerlap dunia maya yang menjelma dalam sosok artis korea, artis hollywood, hingga bollywood. Disamping itu, figur dunia maya yang menjanjikan keberlimpahan materi yang didapat hanya dengan menggerakkan jari di smartphone maupun joget bebas ala tiktok, ditambah lagi dengan kemunculan figur seperti vlogger, youtuber, hingga gamer, kalau kita selidik, tidak sedikit dari figur tersebut menebar konten maupun komunikasi negatif kepada subscriber-nya.
Oleh karena itu, harus kita akui bahwa kini peran seorang guru sebagai teladan para siswanya menjadi semakin berat. Sepatutnya guru menyusun strategi agar siswa bangsa ini terselamatkan secara akidah, moral, dan intelektual dari godaan “syetan” digital dunia maya di zaman milenial.
Strategi yang bisa dilakukan oleh guru yaitu : pertama, guru harus memiliki mental baja, karena keberhasilan mendidik siswa tergantung pada mental seorang guru dalam menangani berbagai masalah yang terjadi pada siswa, bukan guru yang “baperan”. Kedua, guru harus mengalihkan figur favorit siswa dari yang material oriented kepada figur value oriented. Dari youtuber, vlogger, maupun gamer, beralih kepada sosok para nabi dan sahabat. Dalam proses ini guru ditantang untuk memanfaatkan teacher’s companion sebaik mungkin dalam menyampaikan nilai-nilai keteladanan dari figur nabi dan sahabat, dengan mengemasnya dalam gaya khas milenial. Ketiga, guru wajib menginternalisasikan nilai-nilai keteladan dari para nabi, sahabat, maupun ulama, lalu mengaplikasikannya dalam kesehariannya. Guru menjadi teladan yang nyata bagi siswa kapanpun dan dimanapun seperti adagium moral is not taught, but caught. Keempat, guru bersama stakeholder masing-masing sekolah membuat campaign berkelanjutan berkaitan dengan nilai keteladanan dalam kegiatan yang mampu menarik hati generasi milenial. Setidaknya dengan keempat strategi di atas menjadi pemicu semangat bahwa kita bisa merubah demoralisasi dan memenangkan pertarungan dengan era milenial. Demoralisasi para siswa adalah tanggung jawab bersama. Keteladanan guru adalah keniscayaan bagi kebangkitan bangsa, terlebih di era milenial seperti sekarang.


1 komentar:

Membuat Video Pembelajaran dengan OBS

OBS STUDIO Banyak mungkin software yang bisa membuat video pembelajaran, tetapi bagi pemula dalam membuat video, harus mencoba OBS ini, kare...